|
Ilustrasi tidur |
Lisboa369 - Bermimpi bisa dialami oleh semua manusia. Baik itu mimpi indah maupun buruk, mimpi bukanlah hal yang asing atau aneh bagi kita.
Meski demikian, kita tak mengerti mengapa kita bermimpi. Di era sebelum ilmu pengetahuan, mimpi dianggap berhubungan dengan hal yang akan terjadi di masa depan serta hal mistis. Di era sekarang, hal tersebut tentu tak lagi relevan.
Di dunia
psikologi, para psikolog dan ilmuwan cenderung melihat mimpi sebagai platform yang memiliki fungsi emosional. Mimpi sama sekali tak memiliki fungsi langsung secara fisik, namun hal tersebut bisa mempengaruhi kita tanpa disadari.
Oleh karena itu, mimpi terus dipelajari asal-usulnya, terutama alasan di balik mengapa manusia bermimpi. Berikut beberapa teorinya.
Beberapa penelitian menyebut bahwa mimpi adalah media yang membantu manusia menyimpan informasi. Dilansir dari penelitian yang dimuat
Psychology Today, disebut bahwa memori akan disimpan di
hippocampus, bagian dari otak yang terkait dengan ingatan jangka panjang.
Namun ingatan tersebut akan dipindah ke
cerebral cortex selama kita tidur. Ini merupakan bagian otak yang memproses informasi baru, yang juga dikenal sebagai pusat kognisi dan pengetahuan.
Kegiatan tidur memungkinkan otak kita untuk mentransfer ingatan sehingga bisa direkam. Inilah proses yang kita alami sebagai mimpi.
Sebuah studi lain juga menyebutkan bahwa
hippocampus akan memutar ulang hari-hari kita dalam mimpi, dengan berbagai variasi.
Kita semua tentu pernah mengalami mimpi yang mengerikan. Bukan mengerikan karena ada unsur mistis atau hantu, namun justru mengerikan karena mimpi tersebut terlalu nyata.
Seperti yang dilansir dari
Scientific American, mimpi ini terjadi ada sebabnya.
Psikologi percaya bahwa mimpi itu terjadi untuk mengatasi emosi yang kuat seperti ketakutan, kesedihan, dan cinta. Psikolog percaya bahwa hal ini membuat kita mampu untuk bertindak dalam memisahkan emosi dan kejadian tertentu.
Dengan ini, kita bisa lebih baik dalam memproses emosi, karena otak kita bisa menghubungkan antara perasaan dan pengalaman masa lalu. Para ilmuwan juga telah menemukan bahwa cara kerja otak seperti ini akan berbeda kondisinya dengan ketika otak sedang tidak tidur. Dengan kata lain, secara tidak kita sadari, mimpi adalah
terapi.
Mengutip dari jurnal
NCBI, sebuah studi di tahun 2009 menyebut bahwa pasien depresi dan kecemasan berlebih memiliki korelasi positif antara mimpi dengan
distorsi kognitif semacam itu.
Lima peneliti mempelajari dua kelompok mahasiswa, kelompok pertama terdiri dari 35 mahasiswa yang sehat, dan kelompok kedua terdiri dari 20 mahasiswa yang dilanda depresi dan kecemasan berlebih. Dengan metode yang meneliti fase tidur REM dan NREM, mereka diharuskan menyelesaikan tes daya ingat, suasana hati dan penilaian diri.
Hasilnya, peneliti menemukan bahwa para objek penelitian dengan depresi dan kecemasan ternyata bermimpi dengan tema agresi dan penyerangan terhadap dirinya, dan frekuensinya lebih banyak dari mereka yang sehat. Dengan ini, mimpi tersebut merupakan media terapi mereka untuk lebih mengenal dan menerima diri mereka sendiri.
Permasalahan
tidur kronis mempengaruhi antara 50 hingga 80 persen pasien yang terdiagnosa memiliki gangguan kejiwaan. Padahal, di Amerika Serikat sendiri, hanya 10 persen dari populasi yang menderita gangguan tidur.
Berdasarkan penelitian yang dihelat Harvard University di tahun 2009 dan dirangkum oleh jurnal kesehatan
Harvard, ditemukan bahwa ada keterkaitan antara mimpi dan gangguan kejiwaan yang umum, seperti
bipolar. Selain itu, kesulitan tidur juga menaikkan resiko mengalami gangguan kejiwaan, baik pada anak-anak, remaja, atau orang dewasa.
Hal ini dikarenakan jika fase tidur REM terganggu, hal ini akan mempengaruhi tingkat transmiter saraf dan juga hormon stres. Hal ini tentu mengganggu regulasi emosional dan mempengaruhi cara berpikir kita.
Teori rangsangan ancaman tentang mengapa kita bermimpi, menyatakan bahwa mimpi memungkinkan kita untuk bersiap menghadapi ancaman atau bahaya.
Dilansir dari jurnal NCBI, sebuah penelitian dari
University of Turku di Finlandia, menemukan bahwa simulasi ancaman selama mimpi memungkinkan seseorang untuk melatih mekanisme kognitif mereka, yang mana hal tersebut dibutuhkan untuk persepsi dan penghindaran dari marabahaya.
Hal ini diteliti berdasarkan mimpi anak-anak di berbagai kondisi keluarga yang berbeda dalam hal kesejahteraan. Hasilnya, di keluarga dengan kesejahteraan yang rendah dan keluarganya secara konsisten berada di bawah tekanan, mimpi anaknya akan selalu 'liar' dan buruk. Ini merupakan sebuah simulasi ancaman yang terproyeksi di mimpi secara lebih nyata.
Sebaliknya, anak yang tinggal di rumah tangga yang aman, mimpinya juga aman dan tenang.
Sumber : www.merdeka.com
Info Gadget Dan Kesehatan Agen Resmi Ionclub
Kami melayani pembukaan akun sbobet,ibcbet,ioncasino,ionclub,poker,tangkas
silahkan hubungi kami melalui:
Yahoo Messenger : cs_lisboa369@yahoo.com